Ditulis oleh : Ust. Nur Fajri Romadhon, Lc., MA., Al-Hafizh
Mayoritas ulama menilai bolehnya membaca mushaf di kala seseorang salat, baik salat sunnah maupun salat wajib. Pendapat ini dinyatakan para ulama tersebut terkait dengan mushaf berbentuk buku atau lembaran kertas yang digenggam dengan tangan sembari salat. Tentu lebih ringan lagi hukumnya terkait mushaf elektronik yang sudah terbuka pada misalnya layar TV di hadapan seseorang yang sedang salat.
Di antara dalil atas kebolehan ini ialah riwayat yang dibawakan Al-Imām Al-Bukhāriyy berikut:
كَانَتْ عَائِشَةُ يَؤُمُّهَا عَبْدُهَا ذَكْوَانُ مِنَ الْمُصْحَفِ.
“Dahulu ‘Āisyah biasa diimami oleh budaknya, Dzakwān, dengan membaca dari mushaf.” [Shaḥīḥ Al-Bukhāriyy (Beirut: Muassasah Ar-Risālah, 2020) hlm. 328]
Memang, ada minoritas ulama yang memakruhkan dalam kondisi tertentu, bahkan ada yang lebih daripada itu. Berikut rincian pendapat masing-masing dari keempat madzhab fikih terkemuka.
1. Madzhab Ḥanafiyy: Al-Imām Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa salat sembari melihat mushaf itu membatalkan salat jika yang melakukannya tidak menghafal apa yang ia baca dari mushaf. Adapun jika ia memang menghafal apa yang ia baca dari mushaf tersebut, sehingga ia melihat untuk menjaga kelancaran dan memastikan keakuratan semata, maka jika tangannya tidak memegang mushaf tersebut, hukumnya boleh. Hal ini berlaku dalam salat wajib maupun sunnah.
Demikianlah pendapat Al-Imām Abū Ḥanīfah sebagaimana disebutkan oleh Al-Imām Al-Ḥashkafiyy:
وَيُفْسِدُهَا … وَقِرَاءَتُهُ مِنْ مُصْحَفٍ أَيْ مَا فِيهِ قُرْآنٌ مُطْلَقًا لِأَنَّهُ تَعَلُّمٌ، إلَّا إذَا كَانَ حَافِظًا لِمَا قَرَأَهُ وَقَرَأَ بِلَا حَمْلٍ.
“Membaca dari mushaf membatalkan salat seseorang, yakni membaca apapun yang bertuliskan Al-Qur’an, sebab yang demikian itu merupakan pendiktean. Kecuali jika ia menghafal apa yang ia baca dan membacanya tanpa memegangnya.” [Ibnu ‘Ābidīn, Raddul Muḥtār (Riyadh: Dār Ālamil Kutub, 2003) jld. II hlm. 383-384]
Memang di sisi lain, Al-Qādhī Abū Yūsuf dan Al-Imām Muḥammad ibnul Ḥasan berpendapat bahwa yang demikian hukumnya makruh tapi tak membatalkan salat. Itu bila diniatkan menyerupai Ahli Kitab. Bila tidak, maka tidak makruh [Raddul Muḥtār jld. II hlm. 384].
Akan tetapi, sesuai kaidah Madzhab Ḥanafiyy, dalam pembahasan ibadah ritual, bila Al-Imām Abū Ḥanīfah memilih suatu pendapat, kemudian Al-Qādhī Abū Yūsuf dan Al-Imām Muḥammad ibnul Ḥasan sepakat berpendapat dengan suatu pendapat lain, maka tetaplah yang dijadikan pendapat resmi Madzhab Ḥanafiyy ialah pendapat Al-Imām Abū Ḥanīfah [Ibnu ‘Ābidīn, Syarḥ ‘Uqūd Rasmil Muftī (Karachi: Maktabah Al-Busyrā, 2009), hlm. 55-56].
2. Madzhab Mālikiyy: Dibolehkan dalam salat sunnah jika dilakukan sejak awal salat, tetapi dimakruhkan dalam salat wajib.
Al-Imām Al-Kharasyiyy mengatakan:
يُكْرَهُ قِرَاءَةُ الْمُصَلِّي فِي الْمُصْحَفِ فِي صَلَاةِ الْفَرْضِ وَلَوْ دَخَلَ عَلَى ذَلِكَ مِنْ أَوَّلِهِ لِاشْتِغَالِهِ غَالِبًا وَيَجُوزُ ذَلِكَ فِي النَّافِلَةِ إذَا ابْتَدَأَ الْقِرَاءَةَ فِي الْمُصْحَفِ لَا فِي الْأَثْنَاءِ فَكُرِهَ
“Dimakruhkan hukumnya seseorang yang sedang salat membaca dari mushaf kala salat wajib meskipun ia telah membaca mushaf tersebut sejak awal salat karena itu seringkali membuatnya tersibukkan dari salat. Tetapi yang demikian itu boleh dalam salat sunnah bila ia telah membaca mushaf sejak awal salat, bukan baru membuka mushaf di pertengahan salat karena itu makruh.” [Al-Kharasyiyy, Syarḥu Mukhtashar Khalīl (Beirut: Dārul Fikr, 2006) jld. II hlm. 11] Penjelasan serupa juga disebutkan oleh Al-Imām Al-Ḥaththāb [Mawāhibul Jalīl (Riyadh: Dār Ālamil Kutub, 2003), jld. II hlm. 382].
3. Madzhab Syāfi’iyy: Boleh membaca dari mushaf saat sedang salat, baik salat wajib maupun sunnah.
Al-Imām Syamsuddīn Ar-Ramliyy menuliskan:
وَلَوْ فَتَحَ كِتَابًا وَفَهِمَ مَا فِيهِ أَوْ قَرَأَ فِي مُصْحَفٍ، وَإِنْ قَلَّبَ أَوْرَاقَهُ أَحْيَانَا لَمْ تَبْطُلْ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يَسِيرٌ وَغَيْرُ مُتَوَالٍ وَلَا يُشْعِرُ بِالْإِعْرَاضِ.
“Jika seseorang yang sedang salat membuka sebuah kitab lalu memahami isi yang ia baca atau ia membaca dari sebuah mushaf, tidaklah batal salatnya sekalipun ia terkadang membalik halamannya karena yang demikian merupakan gerakan yang ringan, juga gerakan yang tidak banyak berturut-turut serta tidak mengesankan keberpalingan dari salat.” [Syamsuddīn Ar-Ramliyy, Nihāyatul Muḥtāj (Kairo: Dārul Ḥadīts, 2017) jld. I hlm. 501]
4. Madzhab Ḥanbaliyy: Dibolehkan membaca dari mushaf baik di salat wajib maupun di salat sunnah.
Al-Imām al-Buhūtiyy menuliskan:
وَلِمُصَلٍّ قِرَاءَةٌ فِي الْمُصْحَفِ وَنَظَرٌ فِيهِ.
“Dibolehkan bagi orang yang salat untuk membaca ayat dari mushaf dan boleh juga ia memandangi mushaf.” [Al-Buhūtiyy, Syarhu Muntahal Irādāt (Riyadh: Dāru Athlasil Khadhrā`, 2019) jld. I hlm. 487]
Simpulannya: Madzhab Syāfi’iyy dan Ḥanbaliyy membolehkan seseorang yang sedang salat untuk membaca dari mushaf, baik salat sunnah maupun wajib. Kemudian Madzhab Mālikiyy merinci, di mana boleh kalau salat sunnah dengan syarat dilakukan sejak awal salat, selain itu maka makruh. Lalu pendapat resmi Madzhab Ḥanafiyy ialah menilainya sebagai pembatal salat bila orang yang melakukannya belum menghafalnya, baik salat sunnah maupun wajib. Sekalipun demikian, banyak ulama top Madzhab ini sependapat dengan mayoritas ulama yang membolehkannya.
Landasan sebagian ulama yang membedakan hukumnya antara salat sunnah dengan salat wajib ialah kaidah fikih nan disepakati ulama:
النَّفْلُ أَوْسَعُ مِنَ الْفَرْضِ
“Amalan sunnah lebih leluasa daripada amalan wajib.” [As-Suyūthiyy, Al-Asybāh wan-Nadzhāir (Beirut: Dār Ibni Ḥazm, 2005) hlm. 191]
Kaidah ini disumberkan sejumlah dalil, di antaranya hadis riwayat Ibnu ‘Umar radhiyallāhu ‘anhumā:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي السَّفَرِ عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ، يُومِئُ إِيمَاءً، صَلَاةَ اللَّيْلِ إِلَّا الْفَرَائِضَ، وَيُوتِرُ عَلَى رَاحِلَتِهِ.
“Dahulu Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wasallam biasa salat salat malam ketika safar di atas hewan tunggangan beliau dengan menghadap ke mana saja sembari memberi isyarat dalam gerakan salat, kecuali salat wajib. Beliau juga salat witr di atas hewan tunggangan tersebut.” [Shaḥīḥ Al-Bukhāriyy]
Adapun ulama yang melarang, baik sifatnya haram ataupun makruh, maka dapat dilihat bahwa ada tiga alasan atas pelarangan ini.
Alasan pertama: Adanya riwayat larangan melihat mushaf saat menjadi imam dari sebagian sebagian Shahabat.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: نَهَانَا أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنْ يُؤَمَّ النَّاسُ فِي الْمُصْحَفِ.
Ibnu ‘Abbās mengatakan: “Amīrul Mu`minīn ‘Umar radhiyallāhu ‘anhu melarang kami dari mengimami jamaah sembari melihat mushaf.” [Ibnu Abī Dāwūd, Al-Mashāḥif (Kairo: Al-Fārūq Al-Ḥadītsah, 2002) hlm. 449]
Akan tetapi, selain riwayat ini diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang lemah [Al-Bukhāriyy, At-Tārīkh Al-Kabīr (Riyadh: An-Nāsyir Al-Mutamayyiz, 2019) jld. IX hlm. 539], larangan yang dimaksud juga tidak selalu berarti haram, tetapi dapat diartikan makruh atau bahkan tidak afdal saja, sebagaimana umumnya lafal “larangan” di dalam ilmu Ushūl Fiqh.
Alasan kedua: Membaca dari mushaf saat ibarat seseorang yang bacaan salatnya didikte oleh orang lain. Hal ini dilarang sebagian ulama.
Mayoritas ulama yang berpendapat bahwa hukumnya boleh, merespon bahwa membaca dan didiktekan adalah berbeda.
Alasan ketiga: Membaca dari mushaf saat salat mengurangi kekhusyu’an.
Mayoritas ulama yang berpendapat boleh, mungkin saja merespon bahwa membaca dari mushaf bisa membantu kekhusyuan salat karena bisa lebih panjang dan menikmati bacaan Al-Qur’an.
Alasan keempat: Memegang, meletakkan, mengambil, dan membolak-balik mushaf saat salat merupakan gerakan yang banyak.
Kalau begitu, kata Al-Imām Ibnu ‘Ābidīn [Raddul Muḥtār jld. II hlm. 384], bila mushafnya diletakkan sembari dibuka, maka berarti tidak lagi dimakruhkan sebab tidak ada gerakan yang banyak dilakukan di tengah salat.
Penulis katakan: Demikian pula halnya bila mushafnya ada pada layar besar di hadapan orang yang salat, bukan lagi buku atau lembaran kertas yang dipegang tangan. Tidak ada gerakan banyak yang dilakukan, sehingga seyogianya dihukumi dengan lebih ringan, sekalipun pandangan yang memakruhkan atau lebih dari itu tetaplah merupakan pendapat yang mesti dihormati. Wallāhu a’lam.