Pengulangan di QS. 2: 253

Pertanyaan:

Di surat Al-Baqarah ayat 253, mengapa setelah sudah berfirman: ‘Kalau Allah menghendaki, niscaya orang-orang setelah mereka tidak akan berbunuh-bunuhan’, kemudian masih berfirman: ‘Kalau Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan’?

***

Jawab:

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di ayat tersebut lengkapnya seperti ini.

تِلۡكَ ٱلرُّسُلُ فَضَّلۡنَا بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٍ ۘ مِّنۡهُم مَّن كَلَّمَ ٱللَّهُ ۖ وَرَفَعَ بَعۡضَهُمۡ دَرَجَٰتٍ ۚ وَءَاتَيۡنَا عِيسَى ٱبۡنَ مَرۡيَمَ ٱلۡبَيِّنَٰتِ وَأَيَّدۡنَٰهُ بِرُوحِ ٱلۡقُدُسِ ۗ وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ مَا ٱقۡتَتَلَ ٱلَّذِينَ مِن بَعۡدِهِم مِّن بَعۡدِ مَا جَآءَتۡهُمُ ٱلۡبَيِّنَٰتُ وَلَٰكِنِ ٱخۡتَلَفُواْ فَمِنۡهُم مَّنۡ ءَامَنَ وَمِنۡهُم مَّن كَفَرَ ۚ وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ مَا ٱقۡتَتَلُواْ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَفۡعَلُ مَا يُرِيدُ

Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka dari sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang (langsung) Allah berfirman dengannya dan sebagian lagi ada yang ditinggikan-Nya beberapa derajat. Dan Kami beri Isa putra Maryam beberapa mukjizat dan Kami perkuat dia dengan Rohulkudus. Kalau Allah menghendaki, niscaya orang-orang setelah mereka tidak akan berbunuh-bunuhan, setelah bukti-bukti sampai kepada mereka. Tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) yang kafir. Kalau Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Tetapi Allah berbuat menurut kehendak-Nya. [QS. 2: 253]

Jawaban paling sederhana tentunya adalah untuk menegaskan kalimat tersebut. Orang Arab biasa menegaskan sesuatu dengan mengulangnya[1]. Pengulangan  di sini fasih, sesuai aturan ilmu Ma’ani, dan memang cocok dengan ketinggian gaya bahasa Al-Qur’an.

Untuk kasus ayat ini, menurut Al-Imam Ar-Razi (w. 606 H), untuk menegaskan bahwa keburukan yang terjadi berupa saling berbunuhnya mereka, itu pun tetap merupakan takdir Allah[2].

Al-Imam Al-Biqa’i (w. 885 H) menambahkan bahwa mengingat besarnya dosa membunuh, apalagi berbunuh-bunuhan, maka Allah mengulangnya dua kali sebagai penegasan[3].

Tetapi tidak salahnya mencari hikmah lain daripada penegasan. Sebab selain Al-Qur’an itu dapat ditafsirkan dengan lebih dari satu sudut pandang, juga karena ada kaidah tafsir berbunyi: “At-Ta’siisu aulaa minat-taukiid.”[4] Yakni jika ada kalimat berulang, maka lebih utama kalimat kedua dimaknai sebagai suatu pernyataan baru, daripada sekadar sebagai penegasan.

Tak banyak ulama yang coba mengupas pengulangan di sini. Di antara mereka adalah Al-Imam Ibnu Jama’ah (w. 733 H). Beliau utarakan bahwa pengulangan ini bukan sekadar penegasan sebab kalimat kedua memang berbeda dari kalimat pertama.

Menurut beliau, “iqatatal” (berbunuh-bunuhan) di kalimat pertama maknanya adalah “ikhtalaf” (berselisih). Ini kembali ke suatu bahasan di ilmu Bayan bahwa bisa saja kita membahasakan suatu peristiwa dengan menyebutkan musabbab/efeknya. Berbunuh-bunuhan yang mereka lakukan merupakan efek dari perselisihan mereka. Karenanya, Allah ungkapkan “berbunuh-bunuhan” padahal maksud-Nya adalah “berselisih”. Hal ini ditunjukkan pula dengan frase setelahnya: “Tetapi mereka berselisih”.

Ini mirip dengan firman Allah:

إِنَّ ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ أَمۡوَٰلَ ٱلۡيَتَٰمَىٰ ظُلۡمًا إِنَّمَا يَأۡكُلُونَ فِى بُطُونِهِمۡ نَارًا ۖ وَسَيَصۡلَوۡنَ سَعِيرًا

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). [QS. 4: 10]

Allah sebut mereka “menelan api” padahal mereka tidaklah menelan api. Mereka hanya “menelan harta haram”. Namun ketika “menelan api” adalah efek dari “menelan harta haram”, maka sah saja secara gaya bahasa Arab diungkapkan seperti itu[5].

Kembali lagi ke ayat yang sedang kita bahas, QS. 2: 253, jadi menurut Al-Imam Ibnu Jama’ah:

1.     Kalimat pertama maknanya adalah “Kalau Allah menghendaki, niscaya orang-orang setelah mereka tidak akan berselisih.”

2.     Sedangkan kalimat kedua tetap bermakna sesuai lahiriahnya: “Kalau Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan”.

Wallahu a’lam.


[1] Lihat: Al-Khafaji, Sirr Al-Fashaahah (h. 107). Beirut: Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, 1973.

[2] Lihat: Ar-Razi, At-Tafsiir Al-Kabiir (VI/530). Beirut: Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi, 1999.

[3] Lihat: Al-Biqa’i, Nadzm Ad-Durar (IV/21). Kairo: Darul Kitabil Islami, 1984.

[4] Lihat: Al-Amidi, Al-Ihkaam (I/217). Beirut: Al-Maktab Al-Islami, 1982.

[5] Lihat: Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyaaf (I/166). Beirut: Darul Kitabil ‘Arabi, 1987.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *