Tanda Ruku’ Ada Sebelum Suatu Bahasan Dalam Surat Usai

Pertanyaan:

Mengapa tanda ‘Ain di surat Al-Baqarah ayat 245 dan 249 bermasalah? Tidak sesuai dengan suatu topik bahasan.

Jawaban:

Tanda ‘Ain (ع) dalam sebagian mushaf merupakan kepanjangan dari Ruku’ (ركوع). Sebab tanda ini disebut Ruku’ adalah agar imam atau orang yang ruku’ di titik-titik yang ditandai tersebut. Al-Imam As-Sarakhsi (w. 483 H) tuliskan:

وَإِنَّمَا سَمَّوْهُ رُكُوعًا عَلَى تَقْدِيرِ أَنَّهَا تُقْرَأَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ

“Mereka menamainya RUKU’ agar kadar tersebut dibaca di setiap rakaat.”[1]

Pertama kali muncul, jumlah Ruku’ adalah sebanyak 540 tempat. Yang pertama kali membuatnya adalah para ulama Mazhab Hanafi abad keempat Hijriah di kota Bukhara, Uzbekistan. Al-Imam As-Sarakhsi jelaskan mengenai alasan awal mula para ulama menjadikan jumlah ruku’ sebanyak ini. Beliau katakan:

وَحَكَى عَنْ الْقَاضِي الْإِمَامِ ‌عِمَادِ ‌الدِّينِ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى – أَنَّ مَشَايِخ بُخَارَى جَعَلُوا الْقُرْآنَ خَمْسَمِائَةٍ وَأَرْبَعِينَ رُكُوعًا وَعَلِمُوا الْخَتْمَ بِهَا لِيَقَعَ الْخَتْمُ فِي اللَّيْلَةِ السَّابِعَةِ وَالْعِشْرِينَ رَجَاءَ أَنْ يَنَالُوا فَضِيلَةَ لَيْلَةِ الْقَدْرِ إذْ الْأَخْبَارُ قَدْ كَثُرَتْ بِأَنَّهَا لَيْلَةَ السَّابِعِ وَالْعِشْرِينَ مِنْ رَمَضَانَ.

“Al-Qadhi Al-Imam Al-Muhsin Al-Marwazi menghikayatkan dari Al-Qadhi Al-Imam ‘Imaduddin -semoga Allah merahmati beliau- bahwa para masyayikh/ulama Hanafiyyah di kota Bukhara membagi Al-Qur’an menjadi 540 ruku’. Mereka mengatur khataman dengannya agar khatam Al-Qur’an bisa dilakukan di malam ke-27 seraya berharap memperoleh fadhilah Lailatul Qadr. Itu karena banyak riwayat menunjukkan bahwa Lailatul Qadr terjadi di malam ke-27 Ramadan.  ”[2]

Yakni jika suatu masjid salat tarawih 20 rakaat setiap malamnya, maka mereka akan membaca 20 ruku’. Maka untuk bisa khatam di malam ke-27, diaturlah agar jumlah ruku’nya sebanyak 20 x 27 = 540.

Dalam Mushaf Standar Indonesia (MSI) Al-Qur’an Standar Usmani cetakan Kementerian Agama, tanda ruku’ pun ditemukan. Berbeda dengan mushaf cetakan Mesir, Arab Saudi, atau Aljazair. Itu karena mushaf kita sejarahnya kembali pada mushaf-mushaf ulama bermazhab Hanafi. Mushaf kita berawal dari mushaf cetakan Bombay, India (Mushaf Bombay), yang mulanya berujung pada mushaf cetakan Istanbul, Turki (Mushaf Bahriyyah). Seperti kita ketahui, ulama-ulama India dan Turki hampir semua bermazhab Hanafi.

Bedanya, Lajnah Tashih menyebut dalam MSI tanda tersebut jumlahnya 557 tempat[3]. Sedangkan di Mushaf Bombay sendiri, jumlah ruku’ ditulis per juz, yang totalnya ada 558, seperti berikut.

Juz I: 16 ruku’

Juz II: 16 ruku’

Juz III: 17 ruku’

Juz IV: 14 ruku’

Juz V: 17 ruku’

Juz VI: 14 ruku’

Juz VII: 19 ruku’

Juz VIII: 17 ruku’

Juz IX: 18 ruku’

Juz X: 17 ruku’

Juz XI: 16 ruku’

Juz XII: 16 ruku’

Juz XIII: 19 ruku’

Juz XIV: 22 ruku’

Juz XV: 21 ruku’

Juz XVI: 17 ruku’

Juz XVII: 17 ruku’

Juz XVIII: 17 ruku’

Juz XIX: 19 ruku’

Juz XX: 16 ruku’

Juz XXI: 19 ruku’

Juz XXII: 18 ruku’

Juz XXIII: 17 ruku’

Juz XXIV: 19 ruku’

Juz XXV: 20 ruku’

Juz XXVI: 18 ruku’

Juz XXVII: 20 ruku’

Juz XXVIII: 20 ruku’

Juz XXIX: 22 ruku’

Juz XXX: 39 ruku’

Dari sini jelaslah bahwa tanda ruku’ baru ada di setelah abad ke-4 Hijriah yang dicetuskan oleh ulama-ulama Hanafiyyah di kota Bukhara.Itu pun mengalami modifikasi oleh ulama-ulama setelahnya karena perubahan pertimbangan.

Jika Al-Imam An-Nawawi saja masih mengritisi pembagian juz  yang dilakukan oleh ulama tabi’in karena di beberapa juz masih memotong suatu topik pembicaraan, maka apalagi pembagian ruku’, sangat mungkin dikritisi di sebagian tempatnya.

Meski para ulama sudah berusaha agar tidak memotong suatu topik bahasan, pembagian juz masih ada yang dikritisi (seperti awal juz 5 dan awal juz 13 misalnya) sebab memang juz lebih menekankan pada keseimbangan pembagian 30 juz agar tak timpang.

Maka terlebih lagi dengan pembagian ruku’ yang juga memperhatikan alasan yang sama ditambah batasan pembagiannya lebih kecil, hanya tiga sampai belasan ayat, maka sangat mungkin suatu bahasan yang panjang dalam Al-Qur’an terpotong di tengah-tengahnya oleh tanda ruku’, meski para ulama tentunya (berpedoman pada konsep waqaf qabih) sebisa mungkin berusaha agar itu tidak terjadi.

Penting diingat juga bahwa pembagian juz dan ruku’ tidak saling bersinkron sebab jumlah pembagian Al-Qur’an yang diinginkan memang berbeda. Hampir selalu akhir suatu juz bukanlah akhir ruku’. Di sinilah maka pintu kritikan terhadap sebagian penempatan juz dan ruku’ sangat terbuka.

Terkait pertanyaan penanya bahwa tanda ‘Ain di QS. 2: 248 tidaklah tepat, menurut penulis itu sudah tepat, sebab itu perpindahan dari satu scene kisah ke scene kisah selanjutnya. Dari pertemuan Nabi Samuel, Raja Thalut, dan para pemuka Bani Israil berpindah ke rapat besar Raja Thalut dan pasukannya.

Lalu tidak adanya ‘Ain pada akhir QS. Al-Baqarah ayat 245 padahal ayat 246 sudah beda topik adalah karena pembagian ruku’ lebih kepada keserasian panjang antar setiap rakaat, lebih daripada memperhatikan pergantian topik. Jadi tidak selalu pergantian topik ada tanda ruku’, apalagi jika bahasannya pendek. Tetapi jika ada peletakan tanda ruku’ karena panjang rakaatnya dirasa sudah serasi, maka dilihat sebisa mungkin agar jangan sampai memotong suatu topik sehingga menimbulkan ambiguitas. Wallahu a’lam.


[1] As-Sarakhsi, Al-Mabsuuth (II/146). Beirut: Darul Ma’rifah, 1993.

[2] As-Sarakhsi, Al-Mabsuuth (II/146).

[3] Lihat: https://lajnah.kemenag.go.id/artikel/316-tiga-mushaf-al-qur-an-standar-indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *